Selasa, 27 April 2010

Marketing zakat pada Badan Amil Zakat

Pada era otonomi yang semakin berkembang saat ini, keberhasilan marketing zakat pada Badan Amil Zakat tidak hanya ditentukan oleh kekuatan instruktif saja. Namun juga dengan customer service yang baik. Setidaknya inilah yang pernah dialami oleh BAZ Jawa Timur.
Pada awal berdirinya, sekitar medio tahun 2000, BAZ Jatim telah di'fasilitasi' pemerintah dengan Instruksi Gubernur yang berisi ajakan berzakat serta pemotongan infaq bagi para PNS di lingkungan Unit Kerja Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Namun, dari sekitar 250 UPTD Pemerintah Jatim, kurang dari 40% yang merespon instruksi tersebut. Banyak alasan yang dikemukakan, tapi tetap pada satu kesimpulan bahwa cara 'instruktif' saja kurang mempan. Apalagi tidak adanya ancaman hukuman/sanksi bagi yang tidak melaksanakannya.
Memang hal ini juga dipengaruhi oleh ketidakjelasan aspek ketegasan hukum dalam UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat yang menjadi pijakan Instruksi tersebut. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa hanya UU tentang zakat sajalah yang tidak memiliki daya ikat/mengharuskan kepada sasaran (baca: muzakki) untuk menunaikan kewajibannya (berzakat). Semua dikembalikan pada kesadaran masing-masing.
Atas kenyataan inilah, kekuatan 'customer service' harus lebih dikemukakan. Pengelola Badan Amil Zakat (BAZ) dituntut harus lebih kreatif dalam menarik customer (baca:calon muzakki/donatur-nya).
Pendekatan service-humanistic yang berorientasi pada customer satisfaction harus terus diupayakan. Walaupun pendekatan instruktif-birokratik harus juga tetap dipertahankan. Karena memang pangsa pasar Badan Amil Zakat, yang notebene adalah para PNS/Karyawan pemerintah memiliki karakteristik yang berbeda.